Kamis, 10 November 2016

REVIEW THE SWORD of SUMMER

Magnus Chase and the Gods of Asgard #1: The Sword of Summer – Rick Riordan


Palembang, 10 November 2016

 
Judul                     : Magnus Chase and the Gods of Asgard #1: The                                      Sword of Summer
Penulis                  : Rick Riordan
Penerjemah         : Reni Indardini
Penerbit               : Noura Books
Terbit                    : Cetakan pertama, Oktober 2015
Tebal                     : 623
Rate                       : 4/5
 
 
“Aku tahu rasanya menjadi cangkir kosong, merasakan semua yang kita miliki dirampas. Tapi, kau tidak sendirian. Sebanyak apa pun sihir yang pelu kaugunakan, tidak apa-apa. Akan kami lindungi kau. Kamu keluargamu.” –Magnus Chase and the Gods of Asgard #1: Sword of Summer, hlm. 532

Sudah dua tahun Magnus Chase menggelandang di jalanan Kota Boston. Tidur dengan beralasan kantong tidur di tengah suhu ekstrem. Berkawan dengan dua tunawisma lainnya, Blitz dan Hearth. Ia berusaha melarikan diri dari kejaran polisi, kalau-kalau mereka mengenali wajahnya yang nampak familier.Kematian ibunya tak ayal membuat Magnus melarikan diri. Ia masih mengingat serigala bermata itu merangsek lewat jendela. Sementara ibunya menjadi sasaran,  ia menyuruh Magnus meloloskan diri melalui pintu.
Hingga hari perlik itu tiba, Paman Randolph—saudara laki-laki ibunya yang menjengkelkan—menemukan Magnus dan memberitahunya tentang sebuah rahasia; membawa Magnus ke dalam griya tawang warisan keluarga—tempatnya menyimpan relik-relik para Dewa Nordik.
Paman Randolph berkata kalau Magnus adalah putra dewa. Dari mulanya tak percaya, lantas keduanya diperhadapkan pada serangan seekor makhluk raksasa bernama Surt. Surt menginginkan Pedang Musim Panas milik Magnus yang merupakan warisan ayahnya, Dewa Frey.  Magnus bertarung hingga titik darah penghabisan. Surt mengempaskan dirinya, menghantam permukaan Sungai Charles.
Paman Randolph dan para kerabat mengira Magnus telah tewas. Namun, semuanya baru saja dimulai ketika ia terbangun di Valhalla.
 
 
Seperti kata Rick Riordan:
“Mitologi pada dasarnya adalah cerita mengani kebenaran yang sudah kita lupakan.”Magnus Chase and the Gods of Asgard #1: Sword of Summer, hlm. 31

Sudah lama pula rasanya tidak menyentuh area mitologi setelah banyak berjibaku dengan buku-buku roman dan misteri. Sekilas dari segi lini ide, seri “Magnus Chase and the Gods of Asgard” punya kemiripan dengan novel “American Gods” karya Neil Gaiman. Perbedaannya dari unsur pendekatan, “American Gods” yang terkesan dewasa, memilih bercerita lewat genresedikit horor dan gotik; “Magnus Chase and the Gods of Asgard” karya Rick Riordan yang terkenal dengan keseruannya dalam bercerita, tetap konsisten pada genre-nya yang menyerempet pada humor.Plot bercerita yang digunakan Rick Riordan dalam “Magnus Chase and the Gods of Asgard: The Sword of Summer” pada dasarnya mirip dengan yang ia gunakan pada seri “Percy Jackson and the Lightning Theif”. Mulai dari perkenalan tokoh, keterlibatan pada sahabat di dunia nyata yang sesungguhnya memiliki andil di dunia para dewa, konflik yang melibatkan perebutan senjata berupa pedang, klimaks, dan anti-klimaks. Hanya saja perbedaannya terletak pada pemilihan dewa yang diambil; Percy Jackson dengan ayahnya yang seorang Dewa Yunani; Magnus Chase dengan ayahnya yang seorang Dewa Nordik.
Mulai dari pencetusan rahasia Magnus mengenai dirinya yang seorang demi-god (separuh dewa), “The Sword of Summer” mengambil konflik yang sifatnya berkait dengan cakupan yang berkonklusi pada sebuah penyelesaian masalah besar di bagian akhir. Mulai keberadaan dirinya di Valhalla, yang menjadi gunjingan dan bahan kesirikan dari para penghuninya, lalu petualangannya pun dimulai ketika ia melarikan dari dengan menuruni Pohon Dunia menuju Boston, hingga akhirnya ia harus melawan rasa takutnya terhadap Serigala Fenris.
“The Sword of Summer” dapat dikatakan sebagai karya pertama dari Rick Riordan yang saya baca. Kendati sebelumnya pernah menonton versi film dari Percy Jackson, tetapi dalam deretan kata, Rick Riordan memiliki ciri khas dari segi bercerita. Seperti dari penggunaan bahasa yang sangat ringan, humor-humornya yang sedikit basi tapi terbaca sangat lucu, lalu narasinya yang terkesan ceplas-ceplos—terasa pas dengan pemilihan karakternya yang berusia enam belas tahun. Kendati demikian, Rick Riordan memilih topik yang cukup berbobot dan menantang. Seperti seri “His Dark Materials” karya Philip Pullman, yang sama-sama berbasis pada cerita petualangan fantasi, tetapi penyajian ceritanya cukup berat dan bertele-tele, sehingga kadang merasa bosan di beberapa bagian. Berbeda dengan gaya bercerita Rick Riordan, walau punya ceritanya terbilang berpola seperti buku-buku sebelumnya, tapi tiap buku, contohnya dalam “The Sword of Summer”, ia selalu saja menyelipkan humor dan penokohan unik yang berbeda-beda.
Dari segi penyajian alur, “The Sword of Summer” diceritakan dengan alur maju, lewat sudut pandang satu orang, Magnus Chase yang bertindak sebagai tokoh utama sekaligus narator. Di awal, pada bagian prolog, plotnya ada sedikit mundur, yang mana Magnus Chase mencoba menyatakan kalau dirinya mengalami petualangan menegangkan ketika ia meninggal, lantas ia membeberkan segalanya dari awal, ketika Blitz dan Hearth, dua temannya yang sama-sama gelandangan, mengatakan kalau ada dua orang yang membagi-bagikan selebaran tentang dirinya. Tapi, lantas cerita tersebut disambung dengan sederet hal-hal menegangkan dan introduksi-introduksi lucu tentang penghuni Valhalla.
Kalau dari kadar jenuh, “The Sword of Summer” malah tidak terkesan menjenuhkan di bagian awal; bagian perkenalan tokoh yang kerap kali di buku lain, bagian inilah yang sering membuat pembaca menjadi ciut dan enggan melanjutkan petualangan. Namun, “The Sword of Summer” dibuka dengan kata-kata sarkastis, sehingga mau tak mau pembaca jadi terasa dikompori, penasaran, sekaligus dibuat tertawa tentang penjelasan-pejelasan yang seharusnya dinaungi emosi sedih malah diceritakan dengan makian.
Rick Riordan memakai teknik yang berpola dalam “The Sword of Summer”. Seperti halnya Percy Jackson. Magnus Chase pun diceritakan punya umur yang tidak terlalu jauh berbeda. Masih berumur belia. Tapi, yang saya sukai dari kesinkronan tokoh dan book jacket-nya adalah pada sosok Magnus yang digambarkan Rick Riordan, yang mana ia mendeskripsikan Magnus Chase yang memiliki wajah mirip Kurt Cobain, lengkap dengaan rambut pirangnya yang sedagu. Dan, voìla! Magnus yang mirip Kurt Cobain itu pun muncul di sampul depannya.
Lantas, kedua temannya, Blitzen dan Hearth yang awalnya saya anggap tidak punya andil terlalu banyak juga punya peran yang sama dengan guardian dari Percy Jackson, yang diceritakan sahabat dekatnya di kelas. Banyak kemiripan-miripan antara Percy Jackson dan Magnus Chase sesungguhnya. Tapi, yang cukup berbeda adalah mengenai pemilihan dewa. Percy yang dijelaskan seorang putra dari Poseidon dengan mudahnya dibayangkan dan sudah terlampau dikenal oleh masyarakat. Tetapi, dalam “The Sword of Summer”, Magnus diceritakan sebagai seorang demi-god dan seorang putra dari Dewa Frey—dewa Nordik yang jarang dibicarakan di konteks-konteks umum, tapi lewat penggambaran dari seorang Rick Riordan, keberadaan Dewa Frey sekaligus kembarannya, Freya merupakan pengetahuan baru lagi bagi pembaca.
Rick Riordan pun banyak menyinggung Thor. Membandingkannya dengan sosok di teve, yang kekar, berambut pirang. Lantas membuat versinya sendiri yang digambarkan jauh dari sosok heroik yang diangkat oleh komik Marvel.  Banyak fakta-fakta tentang Thor yang mampu mengocok perut pembaca. Dan seperti kala Rick Riordan menggambarkan Hades mirip Mick Jagger, sekonyol itulah kira-kira Thor digambarkan.
Satu hal lagi yang perlu diacungi jempol dari cerita-cerita karya Rick Riordan, yaitu latarnya. Kali ini ia memilih Boston sebagai sebuah tempat yang menjadi incaran para dewa Nordik.

“Magnus, para penjelajah Nordik datang ke sini untuk mencari poros dunia, akar Pohon Dunia.” – Magnus Chase and the Gods of Asgard #1: Sword of Summer, hlm. 36

Boston digambarkan sedemikian rupa dan memiliki banyak kultur di dalamnya. Mengenai pemilihan tokoh Samirah, sesungguhnya, cerita ini menjadi semakin menarik. Banyak perbedaan budaya, antara Timur Tengah dan Barat. Lantas, nama tiap blok di Kota Boston pun dapat disulap oleh Rick Riordan menjadi tempat-tempat bernama unik yang terdengar sangat Nordik.Secara keseluruhan, walau saya bukan penyuka cerita petualangan yang ruwet. Tapi, “The Sword of Summer” masih dapat dinikmati. Lewat alur, banyak cerita-cerita mitologi yang dapat menjadi informasi. Istilah-istilah yang tedengar asing pun dijelaskan satu per satu di bagian glosarium. “The Sword of Summer” adalah pembuka yang seru bagi seri petulangan Magnus Chase.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar