Jumat, 12 Agustus 2016

KAU, AKU, dan SEPUCUK ANGPAU MERAH

Resensi Novel : Kau, Aku, dan Sepucuk 

Angpau Merah karya TERE LIYE


Palembang, 12 Agustus 2016
13414402
Judul : Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
Pengarang       : Tere Liye
Penerbit          : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit   : 2012
Tebal buku      : 507 halaman
Harga buku     : Rp. 72.000,-
Kepengarangan :
Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah adalah satu dari sekian banyak novel mengangumkan karya penulis Tere Liye. Tere Liye merupakan nama pena dari seorang Lelaki bernama Darwis. Berbeda dengan penulis lain yang biasanya memasang riawayat hidup dan kontak di bagian akhir novel, Tere Liye enggan memunculkannya. Meskipun kini Ia telah menciptakan banyak karya yang di kagumi banyak orang, Ia menutupi dan menghindari kehidupan pribadinya. Kalau penulis lain menerima bedah buku, workshop atau kegiatan lain. Tere Liye tidak. Mungkin ia hanya berusaha memberikan karya terbaik yang tulus dan sederhana.
Sinopsis :
Dalam novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama, dimana tokoh ‘Aku’ dalam novel ini bernama Borno. Borno kecil dikenal sebagai anak yang pandai dan kritis, pernah pada suatu hari Ia yang tinggal di tepian Sungai Kapuas sibuk memikirkan dan bertanya pada orang-orang : “Jika Kita buang air besar di hulu Kapuas, kira-kira berapa hari kotoran itu akan tiba di muara sungai, melintas di depan rumah papan Kami?” tetapi tak ada jawaban yang membuat Borno puas.
Usia 12 tahun, Borno harus menerima kenyataan pahit. Seseorang yang menjadi Imam untuknya meninggalkannya. Bapak Borno yang bekerja sebagai nelayan tersengat ubur-ubur setelah sebelumnya terjatuh dari Kapal. Borno sesak, bukan karena kepergian Bapaknya yang tiba-tiba, namun karena keputusan Bapaknya yang menyetujui mendonorkan jantungnya sebelum tubuhnya benar-benar tak berdaya. Saat itu Borno tak tahu, apakah sengatan ubur-ubur atau pisau bedah dokterlah yang membuat Bapaknya pergi.
Borno kemudian tumbuh menjadi pemuda yang bertanggung jawab. Setelah lulus SMA, Ia berusaha mencari pekerjaan. Dimulai bekerja di pabrik Karet, lalu bekerja di dermaga feri. Namun saat bekerja di dermaga feri, ia mendapat perlawanan dari Bang Togar, sodaranya sekaligus Ketua PPSKT (Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta). Bang Togar dan para pengemudi sepit menganggap Borno berkhianat karena bekerja di dermaga feri, dimana kapal feri adalah kendaraan yang sangat dibenci oleh Bang Togar dan para pengemudi sepit karena dapat mengurangi penghasilan mereka. Akibat pertentangan itu, Bang Togar tidak memperbolehkan para pengemudi sepit mengantarkan Borno kemana pun, padahal untuk ke dermaga feri, Borno harus menaiki sepit. Akhirnya, karena ulah Bang Togar itulah, Borno berhenti bekerja di dermaga feri. Kemudian setelah melakukan pembicaraan dengan Pak Tua dan Ibunya, Borno yang awalnya tak mau, akhirnya memutuskan untuk bekerja menjadi pengemudi sepit.
Menjadi pengemudi sepit ternyata tidaklah mudah, Borno harus belajar terlebih dahulu sebelum Ia benar-benar siap mengemudikan sepit. Di hari pertama Ia mengemudikan sepit, saat orang-orang belum mempercayainya, seorang gadis berbaju kuning dengan payung merahnya duduk dengan tenang di bangku paling depan sepitnya, melihat itu, orang-orang baru kemudian berani menaiki sepit Borno.
Seperti biasanya, sebelum turun dari sepit, para pengemudi menyimpan uang di dasar sepit sebagai bayarannya, namun saat itu bukan hanya uang saja yang ia dapat, tetapi sebuah amplop merah yang ia temukan di bangku paling depan. Borno itu adalah benda gadis berpayung merah yang tidak sengaja tertinggal di sepitnya, karena ia ingat betul gadis itulah yang duduk di paling depan sepitnya. Dari sinilah cerita cinta Borno dimulai.
Hari selanjutnya, Borno menunggu gadis itu kembali untuk mengembalikan amplop merah yang tertinggal,ia yakin amplop itu penting bagi si pemiliknya. Menjelang siang hari ia melihat gadis itu menaiki boat putih, tanpa berfikir panjang Borno mengejarnya, namun saat sepitnya hampir saja menyusul boat yang ditumpangi gadis yang dicarinya, sepit Borno kehabisan solar. Akhirnya, setelah Borno mengisi solar, dengan gontai Borno kembali ke dermaga sepit.
Tanpa di sangka, sesampainya di dermaga Borno melihat boat putih tadi tertambat anggun di tepi dermaga. Tahu begitu, Borno tak akan mengejarnya sampai kehabisan solar. Kemudian Borno menyadari sesuatu. Dermaga ini ramai, Borno melihat semua pengemudi sepit tertawa sambil memegang amplop berwarna merah yang ia sadari itu amplop yang sama dengan amplop yang ia yakini barang si gadis yang tertinggal di sepitnya. Saat otaknya berfikir, tiba-tiba gadis yang yang tadi dicarinya bertanya Apakah borno sudah menerima angpau darinya? Borno tidak menjawab, tapi karena Ia memegang amplop merah yang tertinggal, gadis itu berfikir, borno telah menerima angpau darinya. Disitulah ia sadar, bahwa itu bukan amplop penting yang tertinggal melainkan hanyalah sebuah angpau. Kemudian, tanpa berniat membukanya, ia memasukan kembali amplop merah itu ke dalam saku kemejanya.
Pertemuan pertama dengan gadis yang Borno sebut dengan si sendu menawan itu ternyata berpengaruh besar bagi Borno, entah mengapa setiap harinya Borno memikirkannya. Borno yang selalu meperhatikan gadis itu sampai hafal jadwal si gadis sampai di dermaga, maka agar gadis itu menaiki sepitnya, Borno menyimpulkan ia harus mengantri di antrian no 13. Benar saja,gadis itu selalu saja menaiki sepitnya.
Suatu hari, Borno yang belum mengetahui nama si gadis itu berniat untuk menanyakan namanya, supaya tidak terkesan sok kenal, Borno memulai pembicaraan dengan lelucon nama orang. Saat itu, Borno menertawakan nama orang yang berasal dari nama-nama bulan, si gadis hanya tersenyum simpul menanggapinya. Saat akan turun dari sepit, si gadis menyebutkan nama yang membuat Borno terkejut. Mei. Seketika Borno merasa malu dan bersalah.
Sejak mengetahui nama gadis itu, dan melupakan kejadian yang memalukannya, Borno mulai berani menyapa dan mendekati Mei, bahkan Ia sempat mengajari Mei menarik sepit. namun, sebelum Ia berhasil mengajari Mei sepit untuk kedua kalinya sesuai janjinya, Borno harus rela ditinggalkan Mei. Mei harus kembali ke tempat tinggalnya di Surabaya, karena tugasnya di Pontianak sudah selesai. Mengetahui itu, Borno sangat kecewa.
Semenjak kepergian Mei, Borno merasa hidupnya ada yang kurang, entah apa itu. Borno menjadi tak semangat. Tak ada lagi antrean nomer 13. Borno merindukan Mei.
6 bulan kepergian Mei, Pak Tua, kerabat Borno jatuh sakit dan harus melakukan terapi di Surabaya. Mendengar kabar itu, Borno tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ia bersedia menemani Pak Tua terapi, tentunya dengan tujuan yang lain, yaitu bertemu dengan Mei.
Ternyata nasib berpihak baik pada Borno. Di hari kedua pengobatan Pak Tua, takdir mempertemukannya dengan Mei melalui jalan yang tak terduga. Mei lalu mengajak Borno dan Pak Tua jalan-jalan di Kota Surabaya. Malam harinya, setelah Pak Tua terlebih dulu kembali ke penginapan, Borno mengantar Mei pulang ke rumahnya. Disana, Borno bertemu dengan Ayah Mei. Malam itu, dihari pertemuan pertama dengan Papa Mei. Secara terang-terangan Papa Mei memperlihatkan ketidak sukaannya pada Borno, dan itu membuat Borno gelisah.
Kegelisahan Borno tidak berhenti sampai malam itu, bahkan setelah kembali ke Pontianak Borno masih gelisah memikirkan apa yang telah ia perbuat sampai-sampai Papa Mei tidak menyukainya. Kegelisahan itu berdampak pada kinerja kerja Borno. Borno menjadi kurang bersemangat untuk menarik sepit,juga bekerja dibengkel Andi, ditambah kerinduannya pada Mei. Borno rindu melihat Mei duduk disepitnya, Borno rindu antrean no 13. Borno rindu segala sesuatu tentang Mei.
Kerinduan itu akhirnya terbayar ketika suatu hari Mei kembali ke Pontianak, kembali duduk di sepitnya, dan kembali membuat Borno merasa sangat bahagia.
Di sisi lain, terlepas dari urusan asmara, Borno yang juga bekerja di bengkel Papa Andi,sahabatnya harus menelan pil pahit kehidupan. Ia yang berkongsi dengan Papa Andi ditipu oleh orang yang mengaku pemilik bengkel. Akibatnya Borno harus menjual sepitnya untuk membuka bengkel baru dan berhenti menarik sepit.
Semenjak Borno membuka bengkel, Mei sering mengunjungi Borno. Mereka semakin dekat. Borno bahagia akan hal itu. Sayang, kebahagiaan itu tak berlangsung lama, karena tiba-tiba saja Mei meminta Borno menjauhinya, Ia sama sekali tak ingin bertemu Borno tanpa alasan. Borno berusaha mencari penjelasan dari Mei,tapi Borno malah bertemu dengan Papa Mei untuk kedua kalinya. Dan untuk kedua kalinya juga Papa Mei meminta Borno untuk tidak mendekati Mei.
Ketika Mei mendadak menjauhinya, muncullah gadis lain dihidupnya : Sarah, sang dokter gigi yang ceria. Kehadiran Sarah mau tak mau mengusik kehidupannya. Namun, Sarah yang begitu cemerlang juga tak mampu menggantikan Mei dihati Borno.
Borno masih saja berusaha menemui Mei, walaupun Mei tak ingin sedikit pun menemui Borno. akhirnya Borno hanya bisa berkomunikasi dengan Mei menggunakan surat melalui perantara Bibi, meskipun Mei jarang sekali membalasnya. Suatu ketika, Saat Final lomba sepit, tiba-tiba saja Bibi memberikan surat dari Mei yang isinya membuat hati Borno kecewa : Mei kembali ke Surabaya.
Mei menghilang dari hidup Borno untuk kesekian kalinya. Tapi cerita Borno masih berlanjut, Borno memang kehilangan Mei, tapi demi Mei juga, Borno mencoba ikhlas, Borno berusaha menjadi bujang dengan hati yang paling lurus ditepian sungai Kapuas, seperti keinginan Mei di surat terakhirnya.
6 bulan berlalu, 1 tahun terlewati. Rahasia akhirnya terungkap. Sepulang dari liburannya ke Negeri sebrang, Borno mendapat kabar kalau Mei sakit keras di Surabaya. Sebelum menyusul Mei ke Surabaya, Bibi meminta Borno untuk membaca amplop merah yang ditemukan Borno aat pertemua pertamanya dengan Mei dulu. Disitulah rahasia terungkap. Amplop itu bukan sekedar amplop biasa, apalagi angpau. Amplop itulah yang ternyata menyimpan teka-teki mengapa Mei menjauhinya, juga alasan alasan Papa Mei meminta Borno untuk tidak mendekati Mei.Semua misteri itu terungkap jelas di amplop merah itu.
Kelebihan :
Novel ini menceritakan Kisah Cinta sederhana yang diceritakan dengan penuh perjuangan dan kejutan. Jalan cerita tidak mudah ditebak, sehingga membuat pembaca ingin terus menerus membaca kelanjutannya. Tere Liye berhasil memainkan perasaan para pembaca melalui perasaan tokoh utama yang dengan cepat dibuat berubah.
Yang menarik dari novel ini yaitu, adanya misteri yang disajikan. Mulai dari, amplop merah, ketidak sukaannya Papa Mei, dan menjauhnya Mei dari kehidupan Borno. misteri itu disajikan dengan menarik, sehingga membuat pembaca penasaran.
Setting tempat yang di ambil sangat menarik. Untuk orang awam seperti saya, ini menambah Ilmu pengetahuan saya tentang keadaan kota Pontianak.
Selain itu, dalam novel ini terdapat kutipan-kutipan yang menarik, seperti contohnya : “… terkadang dalam banyak keterbatasan, kita harus bersabar menunggu rencana terbaik dating, sambil terus melakukan apa yang bisa dilakukan.” ( halaman 210 )
“Kau lupa,Borno. kalau hati kau sedang banyak pikiran,gelisah, kau selalu punya teman dekat. Mereka bisa jadi penghiburan, bukan sebaliknya tambah kau abaikan. Nah, itulah tips terhebatnya. Habiskan masa-masa sulit kau dengan teman terbaik, maka semua akan lebih ringan.” (halaman 258)
“Tahukah kau, untuk membuat seseorang menyadari apa yang dirasakannya, justru cara terbaik melalui hal-hal yang menyakitkan. Misalnya kau pergi. Saat kau pergi, seseorang baru akan merasa kehilangan, dan dia mulai bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya dia rasakan.”
“Cinta sejati selalu menemukan jalan,Borno. ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalaah sebutannya. Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, khawatir, cemas, serta berbagai perangai norak lainnya. Tidak usahlah kau gulana, wajah kusut. Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya..” (halaman 194)
“Sejatinya, rasa suka tidak perlu diumbar, ditulis, apalagi kau pamer-pamerkan. Semakin sering kau mengatakannya, jangan-jangan dia semakin hambar, jangan-jangan kita mengatakannya hanya karena untuk menyugesti, bertanya pada diri sendiri, apa memang sesuka itu.” (halaman 428)
Kekurangan :
Ending dalam novel ini jelas, bahagia. Hanya saja ada bagian yang menggantung. Dimana diceritakan Papa Mei yang melarang hubungan putrinya dengan Borno, tetapi di akhir cerita tidak diceritakan secara jelas apakah Papa Mei sudah merestui, atau masih menentang.
Terlepas dari fisik buku yang terlihat tebal, Secara keseluruhan, novel ini sangat menarik untuk dibaca. Bertemakan perjuangan cinta membuat saya yakin semua orang tertarik untuk membacanya. Sama seperti saya, semua orang yang membaca pasti ingin terus menerus membaca dan tidak ingin menutupnya sebelum cerita berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar