REVIEW NOVEL ‘AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG’ TERE LIYE
Palembang, 12 Agustus 2016
Ini novel Tere-Liye yang ke sekian kali, yang saya baca. Saya mulai baca ‘Ayahku (Bukan) Pembohong’ ini hari Rabu kemarin, selesai Sabtu pagi tadi. Tebal 304 halaman, cetakan ke 8 (Mei 2013) dan masih ada beberapa kalimat yang keliru penulisannya, semoga bisa jadi masukan buat editor di cetakan berikutnya.
Sebenarnya ini novel lama, dicetak pertama kali bulan Mei 2011. Novel ini bercerita tentang kehidupan seorang anak lelaki keriting bernama Dam dan Ayahnya. Tere Liye menceritakan kisah itu dengan dua setting waktu yang berbeda, waktu sekarang dan flash back ke masa lalu. Menurut saya, novel ini sengaja ditulis Tere Liye dengan tujuan utama, untuk mengajarkan nilai-nilai moral pada pembacanya.
Judul: Ayahku (Bukan) Pembohong
Penulis: Tere Liye
Tahun Terbit: Cetakan 8, Mei 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 304 halaman
Ratings: 3 (Saya), averages 4,13 from 3,330 ratings. 396 reviewers.
Sewaktu kecil, Dam seperti anak-anak seumurannya, dengan kenakalan yang sama. Bedanya, Dam tumbuh bersama nilai kehidupan yang diajarkan Ayahnya melalui cerita-cerita petualangan mulia yang terdengar seperti dongeng, tentang Sang Kapten, Lembah Bukhara, Negeri Penguasa Angin, Si Raja Tidur, dan lainnya. Semenjak kecil Dam percaya bahwa ayahnya benar-benar mengalami semua kejadian itu, meski untuk orang dewasa cerita-cerita itu rasanya seperti dongeng rekaan yang mengada-ada. Ditambah nama-nama tokoh dan tempat yang tidak pernah didengar orang lain, selain ayahnya. Namun Dam tidak pernah menceritakan itu pada orang lain. Ia menyimpan cerita itu untuk dirinya sendiri, dan selalu percaya pada apa yang dikatakan Ayahnya.
Lalu, kembali ke waktu sekarang. Dam sudah memliki dua anak bernama Zas dan Qon, yang berusia 8 dan 6. Ayahnya tinggal untuk pertama kali bersama keluarganya setelah sekian lama menyendiri di rumah lama mereka. Istrinya yang mengijinkan ayah Dam untuk tinggal, meski Dam terus menolak. Ayahnya datang untuk menyampaikan cerita-cerita yang dulu didengarnya pada anak-anaknya, Zas dan Qon. Dam tidak suka cerita itu lagi. Saat Dam berusia 18, ia menyadari bahwa cerita ayahnya bohong, dan ia tidak ingin anak-anaknya dididik dan dibesarkan dengan cerita bohong. Dam bersikukuh bahwa ayahnya tidak pernah mengalami semua perjalanan itu, serta semua petualangan bak dongeng itu! Dam meminta ayahnya untuk tidak bercerita lagi pada anak-anaknya serta mereka-reka cerita heboh yang lain.
Novel ini berkisah tentang cara mendidik anak melalui cerita yang mengandung budi pekerti. Tentang bagaimana peran seorang ayah dalam keluarga. Tentang peran seorang anak. Dan tentunya peran seorang istri. Tere Liye merancang sebuah keluarga yang berjuang meneguhkan keyakinan terhadap sesama. Konflik yang muncul, yang sangat kuat menurut saya adalah kepercayaan terhadap ayah, sesuai dengan judul novel ini.
Ketika membaca novel ini, saya merasa sedang membaca serial anak-anak mamak, sepertiBurlian atau Eliana yang sudah saya baca. Model penyampaiannya, serta bumbu-bumbu penyisipan nilai kehidupannya nyaris sama. Misalnya, tentang bersahabat dengan alam, bersabar ketika disakiti, tidak membalas perbuatan buruk dengan yang buruk, dll. Dengan begitu saya amat yakin, seperti itulah isi kepala Tere Liye setiap kali menulis buku. Hampir semua novel-novelnya mengajarkan nilai moral yang ‘nyaris sama’. Itu saya sebut karakter penulis. Setiap penulis fiksi memiliki karakter yang berbeda-beda. Ada yang menyisipkan setting cafe di semua novelnya, ada pula yang menyisipkan potongan lirik lagu di semua novelnya, dan bahkan ada pula yang memenuhi novelnya dengan quotes tokoh dunia.
Novel ini dapat menjadi langkah awal untuk menata ulang konsep budi pekerti di negeri ini. –Muliaman D. Hadad, Deputi Gubernur Bank Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar